BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Psikologi
adalah suatu ilmu yang mengkaji perilaku individu dalam interaksi dengan
lingkunganannya. Perilaku yang dimaksud adalah dalam pengertian yang luas
sebagai manifestasi hayati (hidup) yang meliputi motorik, kognitif, konatif dan
afektif. Peran psikologi dalam pembelajaran dan pengajaran yaitu dapat
menciptakan suatu proses pembelajaran dan pengajaran yang efektif. psikologi
pendidikan merupakan cabang yang secara mengkaji perilaku individu dalam kaitan
dengan situasi pendidikan.
Menurut
Skiner, belajar merupakan suatu proses adaptasi yang berlangsung secara
progresif; belajar akan mendapat hasil optimal jika ada reinforcement;
timbulnya hubungan tingkah laku antara stimulus dan respon.
Pendidikan
adalah upaya dalam mempengaruhi individu agar berkembang menjadi manusia yang
sesuai di kehendaki. Peranan psikologi dalam pembelajaran pengajaran upaya
untuk mewujudkan perilaku pembelajaran pada siswa. Beberapa peranan tersebut
antara lain memahami siswa sebagai pelajar, memahami prinsip-prinsip dan teori
pengajaran, memilih metode-metode pembelajaran dan pengajaran, menetapkan
tujuan pembelajaran dan pengajaran, memilih dan menerapkan isi pengajaran,
membantu siswa-siswa yang mendapat kesulitan pembelajaran, memilih alatbantu
pembelajaran dan pengajaran.
B. Rumusan Masalah
1.
Mengetahui konsep belajar behavioral klasik;
2.
Bagaimana aplikasi teori behavioral klasik dalam pendidikan;
3.
Serta bagaimana implikasi teori behavioral klasik dalam pendidikan.
C. Tujuan
Tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
Ø Memenuhi
tugas Mata Kuliah Psikologi Belajar.
Ø Untuk
meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang berbagai konsep teori belajaran dan
penerapannya dalam pendidikan.
D. Manfaat
Manfaat yang dapat kita peroleh dari penulisan
makalah ini adalah kita sebagai calon konselor harus mengetahui bagaimana cara
belajar siswa serta bagaimana penerapan konsep belajar dalam pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Belajar Behavioral
Klasik
Teori ini memandang manusia sebagai produk lingkungan.
Artinya, segala perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di
dalam lingkungan sekitarnya. Di mana lingkungan tempat manusia tinggal, di
sanalah seluruh kepribadiannya akan terbentuk. Lingkungan yang baik akan
membentuk manusia menjadi baik. Juga sebaliknya, lingkungan yang jelek akan
menghasilkan manusia-manusia yang bermental jelek sesuai dengan kondisi
lingkungan tadi.
Selain itu, konsep belajar behavioristik juga menjelaskan
bahwa belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan
dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang
menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum
mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang
internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons
adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar
berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R
(stimulus-Respon).
1. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936).
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya Peter
Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke
Seminar Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjana kedokteran dengan bidang
dasar fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi Direktur Departemen Fisiologi pada Institute
Of Experimental Medicine dan memulai penelitian mengenai fisiologi
pencernaan. Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel pada bidang Physiology
or Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi
psikologi behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah Work
of Digestive Glands (1902) dan Conditioned Reflexes (1927).
a. Karakter Classical Conditioning
Classical conditioning (pengkondisian atau
persyaratan klasik) adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara
mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut. (Terrace, 1973).
Selain itu, ada pula proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap
anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat
secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya
sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan
seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat (Bakker,
1985) bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran,
peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan
mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu.
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan
rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan
apa yang diiginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan
menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan
dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki
manusia berbeda dengan binatang.
Ia mengadakan percobaan dengan cara melakukan operasi
leher pada seekor anjing sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar.
Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing
tersebut. Namun sebelum makanan diperlihatkan, diperdengarkan bunyi bel
terlebih dahulu. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar. Apabila perbuatan
yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya
membunyikan bel saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar dengan sendirinya.
Eksperimen ini kemudian diulang-ulang dengan berbagai variasi, namun dapat
disimpulkan bahwa:
· Anjing dibiarkan lapar, setelah
itu bel dibunyikan; anjing mendengarkan benar-benar bunyi bel tersebut. Setelah
bel berbunyi selama 30 detik, makanan diberikan dan terjadilah refleks
pengeluaran air liur.
· Percobaan tersebut diulang-ulang berkali-kali dengan jarak waktu 15 menit.
· Setelah diulang 32 kali, ternyata bunyi bel saja (± 30 detik) telah dapat
menyebabkan keluarnya air liur dan ini bertambah deras kalau makanan diberikan.
Dari eksperimen ini, dapat diketahui bahwa:
· Bel merupakan CS (Conditioned Stimulus/perangsang bersyarat) dan makanan
merupakan US ( Unconditioned Stimulus/ perangsang tak bersyarat).
· Keluarnya air liur karena bel merupakan CS (Conditioned Stimulus/perangsang
bersyarat).
· Makanan atau perangsang wajar (US) disebut juga reinforcer (=penguat).
Karena memperkuat refleks bersyarat dan menimbulkan respon lebih kuat daripada
refleks bersyarat.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedang bel adalah
rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan
berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk
timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Refleks Bersyarat
atau Conditioned Response. Pavlov berpendapat bahwa
kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev, murid Pavlov
menggunakan prinsip-prinsip tersebut pada manusia, yang ternyata diketemukan
banyak refleks bersyarat yang timbul, namun tidak disadari oleh manusia. Dari
eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dapat diketahui
bahwa, daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi bel
sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika bel dibunyikan, ternyata air liur
anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan.
Apakah situasi ini bisa diterapkan pada manusia?
Ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada situasi yang sama seperti pada anjing.
Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim Walls yang berkeliling dari
rumah ke rumah. Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi setelah si pejual es
krim sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi
pada siang hari yang panas. Bayangkan, bila tidak ada lagu tersebut betapa
lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Dari contoh
tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov
ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami
dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang
diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh
stimulus yang berasal dari luar dirinya. Dengan demikian, pembiasaan klasik (classical
conditioning) dari pavlov didasarkan atas reaksi tak terkontrol
dalam individu setelah menerima rangsangan dari luar.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa karakter dari klasikal kondisioning,
antara lain:
ð Learning took place (Belajar akibat tempat).
Dalam hal ini,
behavioral klasik menekankan bahwa seseorang itu dapat belajar bahkan berubah
dari pengalamannya. Dengan kata lain, bisa mengantisipasi kelemahannya atau
mempelajari dan menyiasati sehingga dapat memecahkan/ menemukan solusinya.
Respon yang
terbentuk bersifat emosional atau fisiologikal dan tidak disengaja. Maksudnya, Respon
yang ada tersebut diluar kontrol kesadaran siswa. Stimulus yang tadinya tidak ada
hubungan, menjadi berhubungan. Conditioned-unconditioned
respon adalah identik atau serupa.
b.
Classical
Conditioning Di Kelas
Proses belajar dengan rumus S-R bisa berjalan dengan
syarat adanya unsur-unsur seperti dorongan (drive), rangsangan (stimulus),
respon (response), dan penguatan (reinforcement).
Pertama, dorongan
adalah suatu keinginan dalam diri seseorang untuk memenuhi suatu kebutuhan yang
sedang dirasakannya. Seorang anak merasakan adanya kebutuhan akan bahan bacaan
ringan untuk mengisi waktu senggangnya, maka ia terdorong untuk memenuhi
kebutuhan itu, misalnya dengan mencarinya di perpustakaan terdekat. Unsur
dorongan ini ada pada setiap orang meskipun tingkatannya tidak sama: ada yang
kuat, ada pula yang lemah.
Kedua, adanya rangsangan (stimulus). Kalau dorongan
datangnya dari dalam, maka rangsangan datang dari luar. Bau masakan yang lezat
bisa merangsang timbulnya selera makan yang tinggi, bahkan yang tadinya tidak
terlalu lapar pun bisa menjadi lapar dan ingin segera mencicipinya. Wanita
cantik dengan pakaian yang ketat juga bisa merangsang gairah seksual setiap
lelaki dewasa (yang normal) . Oleh karena itu, dalam islam wanita tidak
diperbolehkan berpakaian yang merangsang, dan bahkan harus menutup seluruh
auratnya (Qur’an:24:31). Hal ini untuk menjaga “keamanan”, menjaga nafsu yang
sering tidak terkendali sebagaimana sering kita dengar adanya tindakan
perkosaan brutal yang tidak berprikemanusiaan.
Dalam sistem intruksional, rangsangan ini bisa terjadi
(bahkan bisa diupayakan) pada pihak sasaran untuk bereaksi sesuai dengan
keinginan komunikator, guru maupun instruktur. Dalam suatu kuliah siang hari,
pada saat para mahasiswa banyak yang mengantuk dan kurang bergairah, sang dosen
bisa merangsangnya dengan berbagai cara, dan yang sering dilakukan adalah
antara lain dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang selektif dan menarik,
bercerita ringan atau humor.
Dari adanya rangsangan tersebut kemudian timbul
reaksi, dan memang orang bisa timbul reaksinya atas suatu rangsangan. Bentuk
reaksi berbeda-beda tergantung pada situasi, kondisi dan bahkan bentuk
rangsangan tadi. Reaksi-reaksi yang terjadi pada seseorang akibat adanya
rangsangan dari lingkungan sekitarnya inilah yang disebut dengan respon dalam
teori belajar. Maka unsur yang
Ketiga,
adalah masalah respon. Respon ini bisa dilihat atau diamati dari luar.
Respon ini ada yang positif dan ada pula yang negatif. Respon positif terjadi
sebagai akibat “ketepatan” seseorang melakukan respon (mereaksi) terhadap
stimulus yang ada, dan tentunya yang sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan
respon negatif adalah apabila seseorang bereaksi justru sebaliknya dari yang
diharapkan oleh pemberi rangsangan. Kempat, adalah masalah penguatan (reinforcement).
Unsur ini datangnya dari pihak luar kepada seseorang yang sedang melakukan respon.
Apabila respon telah benar, maka perlu diberi penguatan agar orang tersebut
merasa adanya kebutuhan untuk melakukan respons seperti tadi lagi. Seorang anak
kecil yang sedang mencoret-coret buku kepunyaan kakaknya, tiba-tiba dibentak
dengan kasar, bisa terkejut bahkan bisa menderita guncangan sehingga ia tidak
akan mencoret-coret buku lagi. Bahkan kemungkinan yang paling jelek di kemudian
hari barangkali ia akan benci terhadap setiap yang namanya tulis menulis. Hal
ini adalah bentuk penguatan yang salah. Barangkali akan lebih baik apabila cara
melarangnya dengan kata-kata yang tidak membentak. Dengan demikian si anak akan
merasa dilarang menulis, dan itu namanya anak diberi penguatan positif sehingga
ia merasa perlu untuk melakukan coretan seperti tadi, tapi di tempat lain.
Setiap kali seorang siswa mendapat nilai A pada mata pelajaran matematika, ia
mendapat pujian dari guru; maka selanjutnya ia akan berusaha mempertahankan
prestasinya itu. Dengan kata lain, ia
melaksanakan semuanya itu karena dipuji (diberi penguatan) oleh guru.
Proses belajar akan terjadi secara terus menerus
apabila stimulus dan respon ini berjalan dengan lancar. Ia berproses secara
rutin dan tampak seperti otomatis tanpa membicarakan hal-hal yang terjadi
selama berlangsungnya proses tadi. Namun dalam hal ini tidak dibicarakan bahwa
yang namanya belajar banyak melibatkan unsur pikiran, ingatan, kemauan,
motivasi, dan lain-lain.
Aplikasi atau penerapan klasikal kondisioning di kelas adalah dengan
cara:
· Menjadikan lingkungan belajar yang nyamn&hangat,
sehingga kelas menjadd satu ksatuan (saling berhubungan) dengan emosi positf
(adanya hubungan persahabatan/kekerabatan).
· Pada awal masuk kelas, guru tersnyum dan sebagai
pembukaan bertanya kepada siswa tetang kabar keluarga, hewan peliharaan/hal
pribadi dalam hidup mereka.
· Guru berusaha agar siswa merespek satu sama lain pada
prioritas tinggi di kelas, misalnya, pada diskusi kelas guru merangsang siswa
untuk berpendapat.
· Pada sesi tanya jawab, guru berusaha membuat siswa
berada dalam situasi yang nyaman dengan memberikan hasil (positf outcome –
masukn positif). Misalnya, jika siswa diam/tidak aktif, maka guru bisa memulai
dengan pertanyaan ”apa pendapatmu tentang masalah ini”, atau bagaimana kamu
membandingkan dua contoh ini”. Dengan kata lain, guru memberi pertanyaan yang
dapat memancing siswa untuk berpendapat. Namun jika dengan cara inipun siswa
tidak sanggup/ segan untuk merespon, maka tugas guru untuk membimbing/ memacu
sampai siswa memberi jawaban yang dapat diterima.
c.
Generalisasi dan Diskriminasi
1) Generalisasi
Yang dimaksud dengan
generalisasi adalah suatu proses berpindahnya/berlakunya suatu respon secara
umum terhadap stimulus/rangsangan lain.
2) Deskriminasi
Yang dimaksud dengan
deskriminasi adalah suatu proses dimana kita mempelajari bahwa, suatu
rangsangan itu tidak selalu direspon dengan cara yang sama.
d.
Extinction
Yang dimaksud dengan extinction
adalah Suatu proses dimana suatu respon berakhir. Atau dengan kata lain, extinction
adalah hilangnya suatu respon pengkondisian.
2. Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang
berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2
dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898.
Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental
and social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s
Word Book (1921), Your City (1939), dan Human Nature and The
Social Order (1940).
Menurut Thorndike,
belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus
adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk
mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat, sedangkan respon adalah
sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Asosiasi yang
demikian itu disebut ”Bond” atau ”connection”. Dalam hal ini, akan
akan menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya
kebiasaan-kebiasaan. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh
Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori
asosiasi. Dengan adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberikan sumbangan
cukup besar di dunia pendidikan tersebut, maka ia dinobatkan sebagai salah satu
tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan. Selain itu, bentuk belajar yang
paling khas baik pada hewan maupun pada manusia menurutnya adalah “trial and
error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung
menurut hukum-hukum tertentu.
Eksperimennya yang
terkenal adalah dengan menggunakan kucing yang masih muda dengan
kebiasaan-kebiasaan yang masih belum kaku, dibiarkan lapar; kemudian dimasukkan
ke dalam kurungan yang disebut ”problem box”. Dimana konstruksi pintu kurungan
tersebut dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol
tertentu pintu kurungan akan terbuka dan kucing dapat keluar dan mencapai
makanan (daging) yang ditempatkan diluar kurungan itu sebagai hadiah atau daya
penarik bagi si kucing yang lapar itu. Pada usaha (trial) yang pertama,
kucing itu melakukan bermacam-macam gerakan yang kurang relevan bagi pemecahan
problemnya, seperti mencakar, menubruk dan sebagainya, sampai kemudian
menyentuh tombol dan pintu terbuka. Namun waktu yang dibutuhkan dalam usaha
yang pertama ini adalah lama. Percobaan yang sama seperti itu dilakukan secara
berulang-ulang; pada usaha-usaha (trial) berikutnya dan ternyata waktu
yang dibutuhkan untuk memecahkan problem itu makin singkat. Hal ini disebabkan
karena pada dasarnya kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri
dari kurungan tersebut, tetapi dia belajar mempertahankan respon-respon yang
benar dan menghilangkan atau meninggalkan respon-respon yang salah. Dengan
demikian diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons
perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui
usaha–usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error)
terlebih dahulu.
Percobaan tersebut
menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”,
yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk
meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap respons
menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan
respons lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
Menurut Thorndike, ada tiga hukum belajar
yang utama dan ini diturunkannya dari hasil-hasil penelitiannya. Hukum tersebut
antara lain:
1. The Law Of Readiness (Hukum Kesiapan)
Hukum kesiapan yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu
perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan
kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar merupakan suatu kegiatan
membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan
kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada
kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini
dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi
memuaskan.
Menurut Thorndike, ada beberapa kondisi yang akan muncul pada hukum
kesiapan ini, diantaranya:
a. Jika ada kecenderungan untuk
bertindak dan orang mau melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.
b. Jika ada kecenderungan untuk bertindak, tetapi ia tidak mau melakukannya,
maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain
untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
c. Jika belum ada kecenderungan bertindak, namun ia dipaksa melakukannya, maka
hal inipun akan menimbulkan . Akibatnya, ia juga akan melakukan tindakan lain
untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
2.
The Law of Exercise (Hukum Latihan)
Hukum latihan yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih
(digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Dalam hal ini, hukum
latihan mengandung dua hal:
a. The Law of Use
Hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat, kalau
ada latihan yang sifatnya lebih memperkuat hubungan itu.
b. The Law of Disue
Hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah atau
terlupa kalau latihan-latihan dihentikan, karena sifatnya yang melemahkan
hubungan tersebut.
3.
The Law of Effect (Hukum Akibat)
Hukum akibat yaitu hubungan stimulus respon yang cenderung diperkuat bila
akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya
koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat
menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya,
suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan
tidak akan diulangi.
Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan
bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan
yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka
manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan
mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.
Thorndike berkeyakinan
bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku
pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang
tanpa diperantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari
apa yang diamati dan terjadi secara mekanis. (Suryobroto, 1984).
Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan
sebagai berikut:
a. Hukum Reaksi Bervariasi (law
of multiple response).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh
proses trial dan error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon
sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b. Hukum Sikap ( law of attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang
tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga
ditentukan oleh keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi,
sosial, maupun psikomotornya.
c. Hukum Aktifitas Berat Sebelah (law of prepotency
element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam
proses belajar memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan
persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( respon selektif).
d. Hukum Respon Melalui Analogi (law of response by analogy).
Hukum ini mengatakan
bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami
karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah
dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau
perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin
mudah.
e. Hukum Perpindahan Asosiasi (law of associative shifting).
Hukum ini mengatakan bahwa proses
peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan
secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan
membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya Thorndike
mengemukakan revisi hukum belajar antara lain :
1. Hukum latihan
ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat
hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus
respon belum tentu diperlemah.
2. Hukum akibat direvisi.
Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan
tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
3. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan
kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
4. Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang
lain maupun pada individu lain.
Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer
of training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan
untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada
percobaan terhadap kucing dengan problem boxnya.
B. Aplikasi
Teori Behavioral Klasik Dalam Pendidikan
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori
behavioral adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
Ø Mementingkan pengaruh lingkungan;
Ø Mementingkan bagian-bagian;
Ø Mementingkan peranan reaksi;
Ø Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus
respon;
Ø Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya;
Ø Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan;
Ø Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Sebagai konsekuensi dari teori ini, para guru yang menggunakan paradigma
behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap,
sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh
oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yang
diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan
pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang
kompleks. Sementara itu, tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang
ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran
berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati, serta kesalahan harus
segera diperbaiki. Pengulangan dan
latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.
Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya
suatu perilaku yang diinginkan. Dimana perilaku yang diinginkan mendapat
penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai, mendapat penghargaan
negatif. Dalam hal ini, evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang
tampak/kelihatan.
C. Implikasi
Teori Behavioral Klasik Dalam Pendidikan
Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu
situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang
sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap
otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa
yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar,
dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya
mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar
dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat
dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap sebagai metode yang
paling efektif untuk menertibkan siswa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan
kemampaun yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur
seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya,
contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer,
berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok
diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang
dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan
bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
B. Saran
Ø Dalam penerapan teori
belajar terhadap peserta didik harus disesuaikan dengan kondisi siswanya.
Ø Sebagai orang yang
dijadikan contoh haruslah berbuat penuh pertimbangan karena sebagai figur
anak-anaknya dan peserta didiknya.
DAFTAR PUSTAKA
- Crow, D. Lester, .Crow, Alice: Kasijan Z.. Psikologi Pendidikan. PT. Bina Ilmu. 1984
- Djamarah, Syaiful Bahri. Psikologi Belajar. Rineka Cipta. 2002.
- Eggen ,P., Kauchak, D.. Educational Psychology,Third Edition. Prentice Hall. 1997.
- Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, edisi Revisi. Remaja Rosdakarya, 1997.
- Suryabrata, S..Psikologi Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada. 1995.
- http://www.psikomedia.com/article/article/Psikologi-Pendidikan/1057/Teori-Psikologi-Belajar-dan-Aplikasinya-Dalam-Pendidikan/ (diunduh pada tanggal 24 Desember 2011).
http://dhesimay.blogspot.com/2012/07/contoh-makalah-psikologi-belajar.html