MAKALAH
MANAJEMEN
BERBASIS SEKOLAH
Disusun Guna memenuhi UTS Susulan
Semseter IV
Mata Kuliah Profesi Keguruan
Dosen Pengampu
Imam Nur Hakim, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Praptowo (10213609)
PGMI
Semester IV B
PENDIDIKAN
GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA (IAINU)
KEBUMEN
TAHUN 2015
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr.
Wb
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas karunia dan rahmat-Nya kami
dapat menyusun makalah “Manajemen Berbasis Sekolah”.
Shalawat
serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Besar kita, Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa umatnya menuju jalan yang diridhoi Allah SWT. Selanjutnya kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen bidang studi Profesi Keguruan
yang telah membimbing kami dalam menyusun makalah ini. Juga kami ucapkan banyak
terima kasih pula kepada teman – teman yang telah ikut membantu dalam penulisan
makalah ini.
Semoga
makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun, umumnya
bagi pembaca. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
kami butuhkan guna menyempurnakan makalah–makalah kami selanjutnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Kebumen, 09 Juni 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem
manajemen pendidikan yang sentralistis tidak membawa kemajuan yang berarti bagi
peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Dalam kasus-kasus tertentu,
manajemen sentralistis telah menyebabkan terjadinya pemandulan kreativitas pada
satuan pendidikan dan berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Untuk mengatasi
terjadinya stagnasi dibidang pendidikan ini diperlukan adanya paradigma baru
dibidang pendidikan.
Seiring
bergulirnya era otonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi
paradigma pendidikan menuju kearah desentralisasi pengelolaan pendidikan.
Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikelurkanya kebijakan mengenai
otonomi pendidikan melalui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah
(MBS). MBS bukan sekedar mengubah pendekatan pengelolaan sekolah dari yang
sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS maka akan
muncul kemandirian sekolah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa latar belakang manajemen berbasis sekolah?
2. Bagaimanakah
konsep manajemen berbasis sekolah?
3. Bagaimanakah Karakteristik MBS?
4. Apa sajakah urusan-urusan yang menjadi kewenangan tanggung jawab sekolah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
LATAR BELAKANG MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Dalam era otonomi daerah, pendidikan
perlu dikelola dengan memperhatikan kepentingan sekolah itu sendiri untuk berkembang
secara optimal dan mandiri. Oleh karena itu, MBS merupakan pilihan yang tepat
untuk dilakukan oleh pemerintah daerah.
Definisi komprehensif mengenai MBS
yang dikemukakan oleh Malen sebagaimana dikutip Ibtisam Abu Duhou adalah suatu
perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi
yang mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan
serta bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana
penting yang dengannya pendidikan dapat didorong dan ditopang.
Selanjutnya, Candoli mendefinisikan
MBS, sebagai suatu cara untuk memaksa sekolah itu sendiri mengambil tanggung
jawab atas apa saja yang terjadi pada anak menurut jurisdiksinya dan mengikuti
sekolahnya. Konsep ini menegaskan bahwa
ketika sekolah itu sendiri dibebani dengan pengembangan total program
kependidikan yang bertujuan melayani kebutuhan anak dalam mengikuti sekolah,
personil sekolah akan mengembangkan program yang lebih meyakinkan karena mereka
mengetahui kebutuhan belajar siswa.
Definisi tentang MBS menegaskan
bahwa konsep tersebut mengacu pada manajemen sumber daya di tingkat sekolah dan
bukan di suatu sistem atau tingkat yang sentralistik. Melalui MBS, sekolah
diberi pengawasan lebih besar atas arah yang akan dicapai oleh organisasi
sekolah tersebut. Pengawasan atas anggaran dianggap merupakan inti dari MBS.
Terkait erat dengan kebijaksanaan
anggaran adalah pengawasan atas penetapan peran, penggajian, dan pengembangan
staf. Pada ekstrim lainnya, beberapa sekolah diberi pengawasan atas kurikulum
sebagai bagian dari MBS. Di sini suatu kurikulum berbasis sekolah berarti bahwa
masing-masing sekolah memutuskan bahan-bahan ajar apa akan digunakan, dan juga
model pelaksanaan spesifik. Para staf menentukan beberapa kebutuhan
pengembangan profesional mereka sendiri, serta beberapa struktur di mana proses
pendidikan akan dikembangkan.
MBS ditawarkan sebagai salah satu
alternatif jawaban pemberian otonomi daerah di bidang pendidikan, mengingat
prinsip dan kecenderungannya yang mengembalikan pengelolaan manajemen sekolah
pada pihak-pihak yang dianggap paling mengetahui kebutuhan riel sekolah.
Oleh karena itu, jika kita semua
sedang gencar berbicara tentang reformasi pendidikan, maka dalam konteks MBS,
tema sentral yang diangkat adalah isu desentralisasi. Desentralisasi dalam
pengertian sebagai pengalihan tanggung jawab pemerintahan pusat dalam hal
perencanaan, manajemen, penggalian dana, dan alokasi sumberdaya ke pemerintah
daerah.
Terkait dengan desentralisasi, MBS dikembangkan untuk
membangun sekolah yang efektif. Hanya saja konsep desentralisasi model MBS
mengacu pada sekolah swa-manajemen (self managing school) bukan
pada penyelenggara sekolah mandiri (self governing school).
Respon yang muncul atas MBS
bermacam-macam. Depdiknas merumuskan pengertian MBS sebagai model manajemen
yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan mendorong
pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung warga
sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua, dan masyarakat)
untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Dengan otonomi yang lebih besar,
sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya,
sehingga sekolah lebih mandiri. Maksud yang sama dikemukakan oleh Miarso yang
menyatakan bahwa arti pengelolaan berbasis sekolah ini adalah pelimpahan
wewenang pada lapis sekolah untuk mengambil keputusan mengenai alokasi dan
pemanfaatan sumber-sumber berdasarkan aturan akuntabilitas yang berkaitan
dengan sumber tersebut.
Asumsi kebijakan manajemen berbasis
sekolah adalah bahwa dengan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab yang
meningkat ke sekolah, serta proporsi dana lebih besar dalam mendukung
pencapaian tujuan kebijakan sesuai dengan serangkaian garis pedoman kebijakan
yang lebih eksplisit dan meletakkan strategi manajemen prestasi yang
terartikulasi di atas perencanaan tersebut, maka hal tersebut akan memudahkan
dan mendorong peningkatan efektivitas dan efisiensi pendidikan publik.
Hal ini berarti bahwa tugas
manajemen sekolah ditentukan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah
itu sendiri. Oleh karena itu, anggota pengelola sekolah (dewan direktur,
pengawas, kepala sekolah, guru, orang tua, siswa dan seterusnya) memiliki
otonomi dan tanggung jawab lebih besar dalam mengelola kegiatan pendidikan di
sekolah.
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan
efesiensi, mutu dan pemeratan pendidikan. Peningkatan efesiensi diperoleh
melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan
penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang
tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan propesionalisme guru, adanya
hadiah dan hukuman sebagai control, serta hal lain yang dapat
menumbuhkembangkan suasana yang kondusif.
Latar belakang munculnya Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) tak lepas dari kinerja pendididkan di suatu Negara
berdasarkan system pendidikan yang ada sebelumnya. Diantara tahun 1960-an
hingga 1970-an berbagai inovasi dilakukan melalui pengenalan kurikulum baru dan
pendekatan metode pengajaran baru dalam rangka meningkatkan kualitas
pendidikan, namun hasilnya tidak memuaskan. Demikian juga di banyak Negara lain
seperti Kanada, Amerika, Australia, Inggris, Perancis, Selandia Baru, dan
Indonesia.
Sebelum berbagai inovasi yang
diterapkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan difokuskan pada lingkup
kelas, seperti perbaikan kurikulum, profesionalisme guru, metode pengajaran,
dan system evaluasi, dan kesemuanya itu kurang memberikan hasil yang memuaskan.
Bersamaan dengan berbagai upaya itu, pada tehun 1980-an terjadi perkembangan
yang menggembirakan di bidang manajemen modern, yaitu atas keberhasilan
penerapannya di bidang industry dan organisasi komersial. Keberhasilan aplikasi
manajemen modern itulah yang kemudian diadopsi untuk diterapkan di dunia
pendidikan. Sejak saat itulah masyarakat mulai sadar bahwa untuk meningkatkan
kualitas pendidikan perlu melompat atau keluar dari lingkup pengajaran di dalam
kelas secara sempit ke lingkup organisasi sekolah. Oleh karena itu, diperlukan
reformasi system secara structural dan gaya manajemen sekolah.
Setelah adanya kesadaran itu
muncullah berbagai gerakan reformasi seperti gerakan sekolah efektif yang
mencari dan mempromosikan karakteristik sekolah-sekolah efektif. Ada gerakan
sekolah mandiri, yang menekankan otonomi penggunaan sumber dana sekolah. Ada
yang memfokuskan pada desentralisasi otoritas dari kantor pendidikan pusat
kepada aktivitas-aktivitas yang dipusatkan disekolah seperti pengembangan
kurikulum berbasis sekolah, bimbingan siswa berbasis sekolah, dan sebagainya.
Gerakan reformasi yang menggunakan pendekatan berbeda-beda tersebut kemudian
melahirkan model-model MBS.
Di Indonesia, latar belakang
munculnya MBS tidak jauh berbeda dengan Negara-negara maju yang terlebih dahulu
menerapkannya. Perbedaan yang mencolok ialah lambatnya kesadaran para pengambil
kebijakan pendidikan di Indonesia. Bayangkan saja di banyak Negara gerakan
reformasi pendidikan model MBS ini sudah terjadi pada tahun 1970-an dan disusul
banyak Negara pada tahun 1980-an, namun di Indonesia baru dimulai 30 tahun
kemudian. Hal ini tidak terlepas dari system otoriter selama orde baru. Semua
diatur dari pusat, yaitu di Jakarta baik dalam penentuan kurikulum sekolah,
anggaran pendidikan, pengangkatan guru, metode pembelajaran, buku pelajaran,
alat peraga hingga jam sekolah maupun jenis upacara yang harus dilaksanakan di
sekolah.
Selama bertahun-tahun upaya
perbaikan pendidikan selalu dilaksanakan dengan cara tambal sulam, karena belum
ada upaya yang maksimal dari birokrat pendidikan di atas sana. Dengan demikian,
dapat dirumuskan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) muncul karena beberapa
alasan. Pertama, terjadinya ketimpangan kekuasaan dan kewenangan yang terlalu
terpusat pada atasan yang mengesampingkan bawahan. Kedua, kinerja pendidikan
yang tidak kunjung membaik bahkan cenderung menurun di banyak Negara. Ketiga,
adanya kesadaran para birokrat dan desakan dari para pecinta pendidikan untuk
merestrukturisasi pengelolaan pendidikan.
Pemerintah Indonesia telah melakukan
upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang mana selama ini masih
dirasa masih kurang, diantaranya dengan membuat program progaram antara lain
“aku anak sekolah” dan dana bantuan operasional. Program tersebut diharapkan
mampu menjunjung kualitas maupun kuantitas pendidikan di Indonesia, akantetapi
karena pengelolaannya masih terpusat dan kaku, program tersebut tidak dapat
memberikan dampak positif. Dugaannya adalah masalah manajemen yang belum
sesuai. Hingga munculah suatu pemikiran atau gagasan baru dalam pengelolaan
pendidikan yang memberi kebijakan kepada masing masing sekolah untuk mengatur
dan melaksanakan berbagai kebijakan dari pemerintah. Pemikiran inilah yang
disebut dengan manajemen berbasis sekolah (MBS).
BPPN dan Bank Dunia (1999) dalam
Mulyasa, memberi pengertian bahwa MBS merupakan bentuk alternatif sekolah dalam
program desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai oleh otonomi luas di
tingkat sekolah, partisipasi masyarakat, dan dalam kerangka kebijakan nasional.
Sedangkan Depdikbud dalam , mengemukakan MBS adalah suatu penawaran bagi
sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi
para peserta didik. Mulyasa (2002) mengemukakan Manajemen Berbasis Sekolah
adalah pradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat
sekolah (pelibatan masyarakat) dalam rangka kebijakan pendidikan nasional.
Dari beberapa pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah kebijakan
pemerintah yang diberikan masing-masing sekolah untuk mengelola dan
mengoptimalkan pendidikan di daerahnya sesuai dengan karakteristik di daerahnya
masing-masing dan keikutsertaan masyarakat dalam mewujudkan tujuan pendidikan.
B.
KONSEP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAHn melibatkan
semua pemangku
Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang
dilakukan secara mendiri oleh sekolah dengan semua pemangku kepentingan yang
terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk
memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan
pendidikan.
C. KARAKTERISTIK MBS
Apabila manajemen berbasis lokasi
lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS menyediakan layanan pendidikan
yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu
berada. Ciri-ciri (karakteristik) MBS bisa dilihat dari sudut sejauh mana
sekolah tersebut dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, pengelolaan
sumber daya manusia (SDM), proses belajar-mengajar dan sumber daya sebagaimana
digambarkan dalam tabel berikut:
Organisasi Sekolah
|
Proses Belajar-Mengajar
|
Sumber Daya Manusia
|
Sumber Daya dan Administrasi
|
·
Menediakan
Manajemen/organisasi kepemimpinan transformasional dalam mencapai tujuan sekolah
|
·
Meningkatkan
kualitas belajar siswa
|
·
Memberdayakan
staf dan menempatkan personel yang dapat melayani keperluan siswa
|
· Mengidentifikasi
sumber daya yang diperlukan dan mengalokasikan sumber daya tersebut, sesuai
dengan kebutuhan.
|
D.
URUSAN-URUSAN YANG MENJADI KEWENANGAN TANGGUNG JAWAB SEKOLAH
Secara umum, pergeseran dimensi-dimensi pendidikan dari manajemen berbasis
pusat menjadi manajemen berbasis sekolah telah diuraikan pada Butir A. Secara
lebih spesifik, pertanyaannya adalah: “Urusan-urusan apa sajakah yang perlu
menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah”? Pada dasarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urutan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah kabupaten/Kota harus digunakan sebagai acuan
dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, desentralisasi urusan-urusan
pendidikan harus dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlu
dicatat bahwa desentralisasi bukan berarti semua urusan di limpahkan ke
sekolah. Artinya, tidak semua urusan di desentralisasikan sepenuhnya ke
sekolah, sebagian urusan masih merupakan kewenangan dan tanggungjawab
Pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan sebagian urusan
lainnya diserahkan ke sekolah. Berikut adalah urusan-urusan pendidikan yang
sebagian menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah, yaitu:
- proses belajar mengajar,
- perencanaan dan evaluasi program sekolah,
- pengelolaan kurikulum,
- pengelolaan ketenagaan,
- pengelolaan peralatan dan perlengkapan,
- pengelolaan keuangan,
- pelayanan siswa,
- hubungan sekolah-masyarakat, dan
- pengelolaan kultur sekolah.
a.
Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama
sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik
pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik
mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata
sumberdaya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik
pembelajaran dan pengajaran yang dipilih harus pro-perubahan yaitu yang mampu
menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi dan eksperimentasi peserta
didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Pembelajaran dan pengajaran
kontekstual, pembelajaran kuantum, pembelajaran kooperatif, adalah
contoh-contoh yang dimaksud dengan pembelajaran yang pro-perubahan.
b.
Perencanaan dan Evaluasi
Sekolah diberi kewenangan untuk menyusun rencana
pengembangan sekolah (RPS) atau school-based plan sesuai dengan
kebutuhannya. Kebutuhan yang dimaksud, misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan
pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi sekolah. Oleh karena itu, sekolah
harus melakukan analisis kebutuhan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi
sekolah. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan tersebut, kemudian sekolah
membuat rencana peningkatan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi sekolah.
Untuk itu, sekolah harus melakukan evaluasi,
khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan
oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi
hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering
disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar
benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.
c.
Pengelolaan Kurikulum
Saat ini telah terjadi desentralisasi sebagian
pengelolaan kurikulum dari pemerintah pusat ke sekolah melalui Permendiknas
22/2006, 23/2006, dan 24/2006. Pengelolaan kurikulum yang dimaksud dinamakan
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Pemerintah Pusat hanya menetapkan
standar dan sekolah diharapkan mengoperasionalkan standar yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Dalam
kondisi seperti ini, sekolah dipersilakan memilih cara-cara yang paling sesuai
dengan kondisi masing-masing. Sekolah dapat mengembangkan (memperdalam,
memperkaya, memperkuat, memperluas, mendiversifikasi) kurikulum, namun tidak
boleh mengurangi standar isi yang telah tertuang dalam Permendiknas 22/2006.
Selanjutnya sekolah berhak mengembangkan KTSP ke dalam silabus, materi pokok
pembelajaran, proses pembelajaran, indikator kunci kinerja, sistem penilaian,
dan rencana pelaksanaan pembelajaran.
Sekolah dibolehkan memperkaya mata pelajaran yang diajarkan, artinya, apa yang
diajarkan boleh diperluas dari yang harus, yang seharusnya, dan yang dapat
diajarkan. Demikian juga, sekolah dibolehkan mendiversifikasi kurikulum,
artinya, apa yang diajarkan boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan
selaras dengan karakteristik peserta didik. Selain itu, sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan muatan local dan
pengembangan diri.
d.
Pengelolaan Ketenagaan (Pendidik dan Tenaga Kependidikan)
Pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen,
pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan
kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi,
laboran, dan sebagainya.) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut
pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri, yang sampai saat ini
masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
e.
Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari
pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga pengembangan. Hal ini didasari
oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas,
baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang
sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
f.
Pengeloaan Keuanagan
Pengelolaan keuangan, terutama
pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini
juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami
kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah
seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk
melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating
activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada
pemerintah.
g. Pelayanan Siswa
Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan
siswa baru, pengembangan/ pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan
sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga sampai pada pengurusan alumni,
sebenarnya dari dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan
ekstensitasnya.
h. Hubungan
Sekolah-Masyarakat
Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk
meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari
masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya,
hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan. Oleh karena
itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas
hubungan sekolah-masyarakat.
i. Pengelolaan Kultur Sekolah
Kultur sekolah (pisik dan nir-pisik) yang
kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar
mengajar yang aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan. Lingkungan
sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari
warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada
siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh kultur sekolah
yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Kultur sekolah sudah merupakan
kewenangan dan tanggungjawab sekolah sehingga yang diperlukan adalah
upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan
beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal sebagai
berikut:
1. Manajemen pendidikan berbasis sekolah, menuntut
adanya sekolah yang otonom dan kepala sekolah yang memiliki otonomi, khususnya
otonomi kepemimpinan atas sekolah yang dipimpinnya. Oleh karena itu, perlu
langkah-langkah yang bersifat implementatif dan aplikatif untuk merealisir
manajemen pendidikan berbasis sekolah di lembaga pendidikan persekolahan.
2. Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan
berbasis sekolah sangat ditentukan oleh political will pemerintah dan
kepemimpinan di persekolahan.
3. Penerapan MBS yang efektif seyogianya dapat
mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan
meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS
memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran
prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi
prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya
menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
A. Malik Fadjar, Kata Pengantar dalam dalam Ibtisam Abu Duhou, School-Base
Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h. xvii
Amiruddin Siahaan dkk, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah,
(Jakarta: Quantum Teaching, 2006), h. 5.
Candoli, Site-Based Management in Education: How to Make It Work in Your
School, (Lancaster: Technomic Publishing Co, 1995), xi
Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (ed) Reformasi Pendidikan Dalam Otonomi
Daerah, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), h. 122
http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/12/latar-belakang-munculnya-mbs/
diakses pada tanggal 15 Oktober 2012
Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin
Aini, dkk, (Jakarta: Logos, 2002), h.. 16
Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin
Aini, dkk, h.. 25
Yusufhadi Miarso. “Perubahan Paradigma Pendidikan Peran Tekhnologi
Pendidikan dalam Penyampaian Misi dan Informasi Pendidikan”, dalam Menyemai
Benih Tekhnologi Pendidikan, h. 696-697
[1] Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management,
Penerjemah Noryamin Aini, dkk, (Jakarta: Logos, 2002), h.. 16
[2] Candoli, Site-Based Management in Education:
How to Make It Work in Your School, (Lancaster: Technomic Publishing Co,
1995), xi
[4] Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (ed) Reformasi
Pendidikan Dalam Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), h.
122
[5] A. Malik Fadjar, Kata Pengantar dalam dalam
Ibtisam Abu Duhou, School-Base Management, Penerjemah Noryamin Aini,
dkk, h. xvii
[6] Yusufhadi Miarso. “Perubahan Paradigma
Pendidikan Peran Tekhnologi Pendidikan dalam Penyampaian Misi dan Informasi
Pendidikan”, dalam Menyemai Benih Tekhnologi Pendidikan, h. 696-697
[7] Amiruddin Siahaan dkk, Manajemen Pendidikan
Berbasis Sekolah, (Jakarta: Quantum Teaching, 2006), h. 5.
[8]
http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/12/latar-belakang-munculnya-mbs/ diakses
pada tanggal 15 Oktober 2012
[9] http://langitjinggadipelupukmatarumahmakalah.blogspot.com/2014/10/makalah-manajemen-berbasis-sekolah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar