Sistem Hukum dan Peradilan Nasional
A. Pengertian Sistem, Hukum, dan Peradilan Nasional
1. Sistem
Sistem adalah suatu kesatuan susunan, dimana masing – masing unsur yang ada di dalamnya tidak diperhatikan hakikatnya, tetapi dilihat menurut fungsinya terhadap keseluruhan kesamaan susunan tersebut.
2. Hukum
Hukum sulit didefinisikan karena kompleks dan beragamnya sudut pandang yang akan dikaji. Prof. Van Apeldoorn mengatakan bahwa ” definisi hukum sangat sulit dibuat karena tidak mungkin untuk mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan”. Karena itu, sebaiknya kita lihat dulu pengertian hukum menurut para ahli hukum terkemuka berikut ini :
Prof. Mr. E.M. Meyers
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melaksanakan tugasnya.
Leon Duguit
Hukum adalah aturan tingkah laku anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang pelanggaran terhadapnya akan menimbulkan reaksi bersama terhadap pelakunya.
Drs. E. Utrecht, S.H
Hukum adalah himpunan peratuan ( perintah dan larangan ) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
S.M. Amin, S.H
Hukum merupakan kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi, dengan tujuan mewujudkan ketertiban dalam pergaulan manusia.
J.C.T. Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto, S.H
Hukum adalah peratuan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dan yang pelanggaran terhadapnya mengakibatkan diambilnya tindakan, yaitu hukuman terentu.
1). Tujuan dan Penggolongan Hukum
a. Tujuan Hukum
Hukum mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Adapun tujuan dibuatnya hukum dapat dilihat pada mariks di bawah ini:
No. | Tokoh / Pakar | Pendapat yang Dikemukakan |
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. |
Prof. Subekti, SH.
Van Apeeldoorn Teori Etis Oeny Bentham (Teori Utilitarianisme) Prof. Y. Van Kant Geny Tujuan Hukum Nasional Indonesia |
Hukum itu mengabdi pada tujuan negara, yaitu mendatangkan atau ingin mencapai kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.
Mengatur pergaulan oleh hukum dengan melindungi
kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu., (kehormatan,
kemerdekaan jiwa, harta benda) dari pihak yang merugikan. Hukum itu semaa-mata menghendaki “keadilan”. Isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai “apa yang adil dan apa yang tidak adil”. Hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan, sedangkan unsur-unsur keadilan ialah : “Kepentingan dayaguna dan kemanfaaannya”. Tujuan hukum adalah semata-mata untuk mewujukan apa yang berfaedah bagi banyak orang. Dengan kata lain, “Menjamin kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang”. Tujuan hukum ialah untuk menjaga agar kepentingan tiap-tiap manusia tidak diganggu. Hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Sebagai unsur keadilan, ada kepentingan daya guna dan kemanfaatan. Ingin mengatur secara pasti hak-hak dan kewajiban lembaga tertinggi negara, lembaga-lembaga tinggi negara, semua pejabat negara, setiap warga Indonesia agar semuanya dapat melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan-tindakan demi terwujudnya tujuan nasional bangsa Indonesia, yaitu terciptanya masyarakat yang terlindungi oleh hukum, cerdas, terampil, cinta dan bangga bertanah air Indonesia dalam suasana hidup makmur dan adil berdasarkan falsafah Pancasila. |
b. Penggolongan hukum
- · Berdasarkan Wujudnya
- Hukum tidak tertulis, yaitu hukum yang masih hidup dan tumbuh dalam keyakinan masyarakat tertentu (hukum adat). Alam praktik ketatanegaraan hukum tidak tertulis disebut konvensi (Contoh: pidato kenegaraan presiden setiap tanggal 16 Agustus)
- · Berdasarkan Ruang atau Wilayah Berlakunya
- Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku di negara tertentu (hukum Indonesia, Malaysia, Mesir dan sebagainya).
- Hukum internasional, yaiu hukum yang mengatur hubungan antara dua negara atau lebih (hukum perang, hukum perdata internasional, dan sebagainya).
- · Berdasarkan Waktu yang Diaturnya
- Hukum yang berlaku pada waktu yang akan datang (ius constituendum).
- Hukum antarwaktu, yaitu hukum yang mengatur suatu peristiwa yang menyangkut hukum yang beraku saat ini dan hukum yang berlaku pada masa lalu.
- · Berdasarkan Pribadi yang Diaturnya
- Hukum semua golongan, yaitu hukum yang mengatur dan berlaku bagi semua golongan.
- Hukum antargolongan yaitu hukum yang mengatur dua orang atau lebih yang masing-masingnya tunduk pada hukum yang berbeda.
- · Berdasarkan Isi Masalah yang Diaturnya
- Hukum Publik, yaitu hukum yang mengaur hubungan antara warga negara dan negara yang menyangkut kepentingan umum. Dalam arti formal, hukum publik mencakup Hukum Tata Negara Hukum Administrasi Negara, hukum Pidana dan Hukum Acara.
a. Hukum Tata Negara
Hukum Taa Negara mempelajari negara tertentu, seperti bentuk negara, bentuk pemerintahan, hak-hak asasi warga negara, alat-alat perlengkapan negara, dan sebagainya. Singkatnya mempelajari hal-hal yang bersifat mendasar bagi negara.
b. Hukum Administrasi Negara
Adalah Seperangkat peraturan yang mengatur cara bekerja alat-alat perlengkapan negara termasuk cara melaksanakan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh setiap organ negara. Singkatnya mempelajari hal-hal yang bersifat teknis dari negara.
c. Hukum Pidana
Aalah hukum yang mengatur pelangaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan hukum yang diancam dengan sanksi piana tertentu. Dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), pelanggaran (Ovrtredingen) adalah perbuatan yang melanggar (ringan) dengan ancaman denda. Sedangkan kejahaan (misdrijven) adalah perbuatan yang melanggar (berat) seperti pencurian, penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya.
d. Hukum Acara
Disebut juga hukum formal (Pidana dan Perdata), hukum acara adalah seperangkat aturan yang berisi tata cara menyelesaikan, melaksanakan atau mempertahankan hukum material. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) No.8/1981 diatur tata cara penangkapan, penahanan, penyitaan dan penuntutan. Selain iu juga diatur siapa-siapa yang berhak melakukan penyitaan, penyelidikan, pengadilan yang berwenang, dan sebagainya.
- Hukum Privat (Hukum Perdata), adalah hukum yang mengatur kepentingan orang-perorangan. Perdata, berarti warga negara pribadi, atau sipil. Sumber pokok hukum perdata adalah Buergelijk Wetboek (BW). Dalam arti luas hukum privat (perdata) mencakup juga Hukum Dagang dan hukum Adat. Hukum Perdata dapat dibagi sebagai berikut:
a. Hukum Perorangan
Adalah himpunan peraturan yang mengatur manusia sebagai subjek hukum dan tentang kecakapannya memiliki hak-hak serta bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya itu. Manusia dan Badan Hukum (PT, CV, Firma, dan sebagainya) merupakan “pembawa hak” atau sebagai “subyek hukum”.
b. Hukum Keluarga
Adalah hukum yang memuat serangkaian peraturan yang timbul dari pergaulan hidup dalam keuarga (terjadi karena perkawinan yang melahirkan anak). Hukum keluarga dapat dibagi sebagai berikut:
-
- Kekuasaan Orangtua, yaitu kewajiban membimbing anak sebelum cukup umur. Kekuasaan Orangtua putus ketika seorang anak telah dewasa (21 tahun), terlalu nakal putusnya perkawinan.
- Perwalian, yaitu seseorang/perkumpulan terenu yang bertindak sebagai wali untuk memelihara anak yatim piatu sampai cukup umur. Hal ini terjadi, misalnya, karena perkawinan kedua orangtuanya puus. Di Indonesia, wali pengawas dijalankan oleh pejabat Balai Harta Peninggalan.
- Pengampuan, yaitu seseorang/perkumpulan tertentu yang ditunjuk hakim untuk menjadi kurator (pengampun) bagi orang dewasa yang diampuninya (kurandus) karena adanya kelainan; sakit ingatan, boros, lemah daya, tidak sanggup mengurus diri, dan berkelakuan buruk.
- Perkawinan yaitu mengatur perbuaan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak (laki-laki dan perempuan) dengan maksud hidup bersama untuk jangka waku yang lama menurut undang-undang. Di Indonesia, diatur dengan UU No. 1/1974.
Adalah peaturan-peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban manusia yang dapat dinilai dengan uang. Hukum kekayaan mengatur benda (segala barang dan hak yang dapat menjadi milik orang atau obyek hak milik) dan hak-hak yang dapat dimiliki atas benda. Hukum kekayaan mencakup:
-
- Hukum Benda, mengatur hak-hak kebendaan yang bersifat mutlak (diakui dan dihormati setiap orang). Hukum bena terdiri dari: 1) Hukum Benda Bergerak: karena sifatnya (kendaraan bermotor) dan karena peneapan undang-undang (surat-surat berharga); 2) Hukum Benda idak Bergerak: karena sifatnya (tanah dan bangunan) karena tujuannya (mesin-mesin pabrik) an karena peneapan unang-nang (hak opstal dan hipotik).
- Hukum Perikatan, mengatur hubungan yang bersifat kehartaan antara dua orang atau lebih. Pihak pertama (kreditur)berhak atas suau prestasi (pemenuhan sesuau). Pihak lain (sebitur) wajib memberikan sesuau. Bila debitur tidak menepati perkataannya, hal itu inamakan wanpresasi. Obyeknya adalah prestasi, yaitu hal pemenuhan perikatan yang terdiri dari: 1) memberikan sesuatu; yaitu membayar harga menyerahkan barang, dan sebagainya; 2) berbuat sesuatu; yaitu memperbaiki barang yang rusak, memboongkar bangunan, karena puusan pengadilan, dan sebagainya; 3) iak berbua sesuatu; yaitu tidak mendirikan bangunan, tidak memakai merk tertentu karena putusan pengadilan.
Hukum yang mengaur kedudukan hukum harta kekayaan seserang seelah ia meninggal, eruama berpindahnya harta kekayaan iu kepada orang lain. Hukum waris mengatur pembagian hara peninggalan ahli waris, uruan penerimaan waris, hibah, sera wasiat. Pembagian waris dapat ilakukan engan cara:
a. Menurut Undang-undang, yaitu pembagian warisan kepada si pewaris yang memiliki hubungan darah erdekat. Contoh: jika seorang ayah meninggal, hartanya akan diwariskan kepada istri dan anaknya, tetapi apabila ia tiak mempunyai keturunan pembagian warisannya diatur menurut undang-undang.
b. Menurut Wasiat, yaitu pembagian waris berdasarkan pesan atau kehendak terakhir (wasiat) dari si pwaris yang harus inyaakan secara tertulis dalam ake noaris. Penerimaan warisan disebu legaaris, an bagian warisan yang diterimannya disebu legaat.
Dalam arti luas, hukum perdata mencakup pula Hukum agang an Hukum Adat.
e. Hukum Dagang (Bersumber dari Wetboek Van Koopehandel)
Hukum dagang aalah hukum yang mengaur soal-soal perdaganganperniagaan yang timbul karena tingkah laku manusia (person) dalam perdagangan atau perniagaan. Hal-hal yang diatur mencakup: Buku 1 (perniagaan pada umumnya), dan Buku II (hak an kewajiban yang timbul daam dunia perniagaan).
f. Hukum Adat
Hukum adat adalah hukum yang umbuh dan berkembang di dalam masyarakat terentu serta hanya dipatuhi dan diaai oleh masyaraka yang bersangkutan. Contoh: pernikahan menurut adat Manggarai-Flores, pernikahan daerahBugis, pembagian waris di Batak.
2). Unsur hukum :
- Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
- Peraturan diadakan oleh badan – badan resmi yang berwajib.
- Peraturan bersipat memaksa.
- Sanksi pelanggar peraturan tersebut adalah tegas.
Jadi, sistem hukum adalah suatu kesatuan hukum dari unsur hukum yang saling berhubungan dan bekerjasama sebagai suatu kesatuan untuk mencapai tujuan tertentu.
B. Peran Lembaga Hukum
Lembaga hukum (lembaga peradilan) adalah lembaga yang mengatur segala sesuatu tentang hukum. Peran lembaga hukum dalam menjalankan hukum adalah mengatur segala sesuatu hukum yang berlaku.
C. Perbuatan Yang Sesuai Dengan Ketentuan Hukum
Sikap yang sesuai dengan ketentuan hukum adalah sikap yang mentaatii semua hukum dan Norma yang berlaku.
- Contoh Perilaku yang sesuai dengan ketentuan hukum:
- Di Keluarga
- Melaksanakan tugas sesuai dengan kesepakatan keluarga
- Membersihkan rumah sesuai jadwal yang yelah ditetapkan
b. Di Sekolah
- Menghormati Guru
- Mematuhi tata tertib sekolah
- Mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru
- Tidak menyontek saat ulangan
- Melaksanakan tugas piket
- Di Masyarakat
- Mengikuti kegiatan kerja bakti
- Mentaati peraturan (adat istiadat) yang berlaku di masyarakat
- Di Negara
- Mentaati hukum yang berlaku di Negara
D. Analisis Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia
I. Pengertian KKN
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah “KKN”, KKN adalah singkatan dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Korupsi adalah merupakan salah satu perbuatan yang melanggar hukum. Yaitu penyalahgunaan sesuatu yang berharga yang bisa merugikan orang lain, korupsi tidak hanya berupa materi, tetapi juga bisa berupa korupsi waktu, dan intelektual.
II. Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Salah satu upaya pemberantasan korupsi oleh pemerintah Indonesia adalah pembentukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). KPK bertugas menyelidiki para pejabat-pejabat yang dicurigai melakukan tindakan korupsi.
Upaya pemberantasn Korupsi sdiatur dalam TAP MPR No. 8 tahun 2001 mengenai pemberantasan dan pencegahan korupsi. Tetapi, meskipin begitu, tingkat korupsi di Indonesia masih tetap tinggi, hal ini disebabkan karena kurangnya moral yang dimiliki para pejabat kita.
E. Menampilkan peran serta dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
Peran kita sebagai pelajar dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia ada tiga, yaitu:
1. Sebagai Pelapor
Peran kita sebagai pelapor adalah melaporkan setiap kejadian korupsi yang kita ketahui kepada pihak yang berwenang.
1. Sebagai Saksi
Peran kita sebagai saksi adalah bersedia menjadi saksi dan memberikan keterangan yang sejujur-jujurnya jika kita diminta untuk menjadi saksi pada sidang kasus korupsi
2. Sebagai Korban
Jika kita menjadi korban tindak korupsi, maka sebaiknya kita melaporkan kejadian korupsi yang kita alami kepada pihak yang berwenang supaya ada tindakan hukum yang dilakukan untuk menangkap dan mengadili sipelaku korupsi.
Fungsi Hukum
Secara umum hukum mempunyai arti himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Untuk mencapai tujuannya, hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu.
Saat ini, terdapat perbedaan-perbedaan pandangan fungsi hukum diantara para ahli hukum, dan perbedaan itu kerap kali menjadi unsur yang mendorong timbulnya perbedaan mengenai tujuan menerapkan hukum. Ada yang lebih menekankan pada fungsi kontrol sosial, atau fungsi perubahan, dan lain-lain. Jika masing-masing pihak menuntut menurut keinginannya sendiri-sendiri maka yang timbul adalah permasalahan hukum bukan penyelesaian hukum. Bahkan menimbulkan konflik, yang berkonotasi saling menyalahkan, saling menuduh dan lain-lain.
Selain perdebatan mengenai fungsi hukum, terjadi pula perdebatan mengenai tujuan hukum. Secara tradisional ada yang memusatkan tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan ketertiban. Kalau dikaji lebih dalam, pada
tingkat tertentu dua tujuan itu tidak selalu seiring bahkan dapat bertentangan satu sama lain. Tujuan mewujudkan keadilan berbeda dengan tujuan mewujudkan ketertiban. Dalam keadaan tertentu, tuntutan keadilan akan melonggarkan kepastian hukum, sedangkan
kepastian hukum justru merupakan komponen utama mewujudkan ketertiban. Tanpa kepastian hukum tidak akan ada ketertiban. Sebaliknya pada tingkat tertentu, ketertiban dapat menggerogoti keadilan. Selain mewujudkan kepastian, ketertiban memerlukan
persamaan (equality), sedangkan keadilan harus memungkinkan keberagaman atau perbedaan perlakuan.
Joseph Raz (1983 V 163-177) membedakan fungsi sosial hukum atas: Fungsi langsung dan Fungsi langsung yang bersifat primer, yakni mencakup pencegahan perbuatan tertentu dan mendorong dilakukannya perbuatan tertentu, penyediaan fasilitas bagi rencana-rencana privat, penyediaan servias dan pembagian kembali barang-barang, penyelesaian perselisihan di luar jalur reguler.
Fungsi langsung yang bersifat sekunder, mencakup:
- prosedur perubahan hukum, meliputi antara lain: constitution making bodies, parliements, local authorities, administrative legislation, custom, judicial law-making, regulations made by independent public bodies dan lain-lain.
- prosedur bagi pelaksana hukum
Termasuk di dalam fungsi hukum yang tidak langsung ini adalah memperkuat atau memperlemah kecenderungan untuk menghargai nilai-nilai normal tertentu, sebagai contoh:
- kesucian hidup
- memperkuat atau memperlemah penghargaan terhadap otoritas umum
- mempengaruhi perasaan kesatuan nasional
- dan lain-lain.
Fungsi Hukum Menurut Tokoh Indonesia
Menurut pendapat Soedjono Dirjosisworo
- Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan ketentraman masyarakat
- Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan
- Sarana penggerak pembangunan
- Fungsi kritis dari hukum bahwa daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan kepada aparatur pengawas, aparatur pemerintah dan aparatur penegak hukumnya.
- Hukum sebagai pemeliihara ketertiban dan keamanan
- Sebagai sarana pembangunan
- Sarana penegak keadilan
- Sarana pendidikan kepada masyarakat
- Sebagai pengatur, penertib dan pengawas kehidupan masyarakat
- Penegak keadilan dan pengayom warga masyarakat
- Penggerak dan pendorong pembangunan dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan
- Pengaruh masyarakat pada nilai-nilai yang mendukung usaha pembangunan
- Penjamin keseimbangan dan keserasian yang dinamis dalam masyarakat yang mengalami perubahan cepatFactor integrasi antara berbagai sub system budaya bangsa
Fungsi hukum sebagai “a tool of social control”
Menurut Ronny Hantijo Soemitro (1984:134): Kontrol sosial merupakan aspek normatif dari kehidupan sosial atau dapat disebut sebagai pemberi definisi dari tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemindanaan dan pemberian ganti rugi.
Dari apa yang dikemukakan oleh Prof. Ronny di atas, kita dapat menangkap isyarat bahwa hukum bukan satu-satunya alat pengendali atau pengontrol sosial. Hukum hanyala salah satu alat kontrol sosial dalam masyarakat.
Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial dapat diterangkan sebagai fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap merupakan penyimpangan terhadap aturan hukum, dan apa sanksi atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadi penyimpangan tersebut.
Olehnya itu Ronny (1984: 143) menuliskan bahwa: “Tingkah laku yang menyimpang merupakan tindakan yang tergantung pada kontrol sosial. Ini berarti kontrol sosial menentukan tingkah laku yang bagaimana yang merupakan tingkah laku yang menyimpang. Makin tergantung tingkah laku itu pada kontrol sosial makin berat nilai penyimpangan pelakunya. Berat ringannya tingkah laku menyimpang itu tergantung …….”
Menurut pendapat JS. Rouceek (1951: 31) yang menyatakan: “Mekanisme pengendalian sosial (mechanisme of social control) ialah segala sesuatu yang dijalankan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bukan memaksa para warga agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan”.
Jika kita ingin membuat suatu simpulan dari apa yang diuraikan di atas tentang hukum sebagai pengendalian sosial, penulis dapat menyatakan bahwa:
- Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, tidaklah sendirian di dalam masyarakat, melainkan menjalankan fungsi itu bersama-sama dengan pranata-pranata sosial lainnya yang juga melakukan fungsi pengendalian sosial.
- Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial merupakan fungsi “pasif” di sini artinya hukum yang menyesuaikan diri dengan kenyataan masyarakat.
Malinowski antara lain berusaha menghilangkan kesan seolah-olah hukum hanya terdiri dari unsur paksaan, tersirat dari tulisannya yang mengemukakan bahwa (1959:55): “The role of law stand out trom the rest in that they are felt and regarded as the obligations of one person and the rightfull claims of another. They are sanetioned not by a mere psychological motive, but by a definite social machinery of binding force, based… upon mutual dependence, and realized in the equivalent arrangement f recviprocal services”.
Sehubungan dengan fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial ini, masih ada hal lain menurut penulis yang sangat perlu diketahui, yaitu:
- Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, dapt dijalankan oleh suatu kekuasaan terpusat yang dewasa ini berwujud kekuasaan negara, yang dilaksanakan oleh “the ruling class” tertentu atau suatu “elit” hukumnya biasanya berwujud hukum tertulis atau perundang-undangan.
- Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, dapat juga dijalankan sendiri “dari bawah” oleh masyarakat itu sendiri. Hukumnya biasa terwujud tidak tertulis atau hukum kebiasaan.
- faktor aturan hukumnya sendiri
- faktor pelaksana (orang) hukumnya
Konsep hukum sebagai “ a tool of social engineering” selama ini dianggap sebagai suatu konsep yang netral, yang dicetuskan oleh Roscoe Pound. Konsep “a tool of social engineering” ini bisa diperhadapkan dengan konsep hukum yang lain, antara lain konsep yang diajarkan oleh aliran historis dari Friederich Karl von Sabigny.
Aliran historisnya Sabigny berpendapat bahwa hukum merupakan ekspresi dari kesadaran hukum, dari “volksgeist”, dari jiwa rakyat. Hukum pada awalnya lahir dari kebiasaan dan kesadaran hukum masyarakat, kemudian dari putusan hakim, tetapi bagaimanapun juga diciptakan oleh kekuatan-kekuatan dari dalam yang bekerja secara diam-diam, dan tidak oleh kemauan sendiri legislatif. Konsep hukum aliran historis ini, jika dikaitkan dengan masyarakat-masyarakat yang masih sederhana, memang masih tepat, karena dalam masyarakat yang masih sederhana tidak terdapat peranan legislatif, seperti pada masyarakat modern saat ini. Peranan hukum kebiasaanlah yang menonjol pada masyarakat sederhana.
Berhadapan dengan konsep aliran historis ini, maka Roscoe Pound mengemukakan konsep “a tool of social engineering” yang memberikan dasar bagi kemungkinan ditemukannya hukum secara sadar untuk mengadakan perubahan masyarakat.
Pengertian “a tool of social engineering” atau “sosial engineering by law” dikemukakan oleh Soerjono Soekamto (1977: 104-105): “… hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti bahwa hukum mungkin dapat digunakan sebagai alat oleh agent of change. Dan agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan di dalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan, dan bahkan mungkin menyebabkan perubahan-perubahan pula pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan sosial dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di bawah pengendalian serta pelopor perubahan tersebut”.
Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan “social engineering” atau “planning”.
Roscoe Pound sendiri (dalam Satjipto Rahardjo 1979: 148-149) memberikan gambaran tentang apa yang sebenarnya diinginkan dan apa yang tidak diinginkan oleh penggunaan hukum sebagai “alat rekayasa sosial”, sebagai berikut:
- Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hukum,
- Melakukan studi sosiologis dalam rangka mempersiapkan perundang-undangan. Membuat undang-undang dengan cara membanding-bandingkan selama ini dianggap sebagai cara bijaksana. Namun demikian adalah tidak cukup jika kita hanya membanding-bandingkan satu peraturan dengan yang lain-lain. Hal yang lebih penting lagi adalah untuk mempelajari bagaimana ia beroperasi di masyarakat serta efek yang ditimbulkannya apabila ada, untuk kemudian dijalankan.
- Melakukan studi tentang bagaimana membuat peraturan-peraturan hukum menjadi efektif. Selama ini tampak orang menganggap apabila peraturan sudah dibuat, maka ia akan bekerja dengan sendirinya. Suatu studi yang serius tentang bagaimana membuat peraturan-peraturan perundang-undangan serta keputusan pengadilan yang demikian banyak itu menjadi efektif, merupakan suatu keharusan.
- Memperhatikan sejarah hukum, yaitu bahwa studi itu tidak hanya mengenai bagaimana ajaran-ajaran itu terbentuk dan mengenai bagaimana ajaran-ajaran itu berkembang yang kesemuanya dipandang sekadar sebagai bahan kajian hukum, melainkan tentang efek sosial apa yang ditimbulkan oleh ajaran-ajaran hukum itu pada masa lalu dan bagaimana cara timbulnya. Studi itu adalah untuk menunjukkan bagaimana hukum pada masa lalu itu tumbuh dari kondisi sosial, ekonomi dan psikologis, bagaimana ia menyesuaikan diri kepada semuanya itu, dan seberapa jauh kita dapat mendasarkan atau mengabaikan hukum itu guna mencapai hasil yang kita inginkan.
- Pentingnya melakukan penyelesaian individual secara ketemu nalar selama ini masih sering dikorbankan demi mencapai suatu tingkat kepastian yang sebetulnya tak mungkin (aliran ini) menerima kehadiran peraturan hukum sebagai pedoman yang umum bagi para hakim yang akan menuntunnya ke arah hasil yang adil, tetapi mendesak agar dalam batas-batas yang cukup luas hakim harus bebas untuk mempersoalkan kasus yang dihadapinya, sehingga dengan demikian, bisa memenuhi tuntutan keadilan diantara pihak-pihak yang bersengketa dan bertindak sesuai nalar yang umum dari orang awam itu.
- Pada akhirnya, semua tuntutan tersebut di atas hanyalah sarana-sarana untuk mencapai suatu tujuan, yaitu tentang bagaimana mengusahakannya secara lebih efektif agar tercapai tujuan-tujuan itu.
Terakhir yang penting kita ketahui dalam fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, adalah bahwa terjadinya perubahan sosial tidak mungkin semata-mata dilakukan oleh hukum, sehingga kalau kita ingin melihat sudut kemampuan hukum untuk melakukan suatu “initial push” (istilah dari Arnold M. Rose). Terjadinya perubahan sosial melalui suatu proses yang cukup kompleks serta tidak merupakan hasil hubungan yang langsung antara suatu faktor tertentu dengan suatu kejadian. Kompleksitas ini misalnya ditunjukkan melalui kemampuan suatu akibat untuk juga mempengaruhi dan memodifikasi penyebabnya.
Jadi peranan hukum yang diharapkan sebagai alat untuk mengubah masyarakat sebagai alat rekayasa sosial, tidak lain menempatkan hukum itu sebagai motor yang nantinya akan menyebarkan dan menggerakkan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum tersebut. Jadi bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangan belaka, melainkan juga akitivitas birokrasi pelaksanaannya.
Di dalam memfungsikan hukum sebagai alat rekayasa sosial, di bidang legislatif hendaknya jangan sampai memproduk “a sweeping legislation”. Yang dimaksud sebagai “a sweeping legislation” oleh Gubernur Myrdal ini adalah suatu produk legislatif yang pembuatannya dilakukan secara tergesa-gesa, tanpa memperhatikan faktor non hukum, sehingga kelak produk legislatif itu tidak efektif setelah diberlakukan.
Fungsi hukum sebagai simbol
L.B. Curzon (1979: 44) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan simbolis adalah “Involves the process whereby persons consider in simple term the social relationships and other phenomena arising from their interaction…”
Tampaknya apa yang dikemukakan oleh Curzon di atas dapat penulis setujui, karena memang simbolis itu mencakupi proses-proses dalam mana seseorang menerjemahkan atau menggambarkan atau mengartikan dalam suatu istilah yang sederhana tentang perhubungan sosial serta fenomena-fenomena lainnya yang timbul dari interaksinya dengan orang lain. contohnya dalam hukum: seseorang yang mengambil barang orang lain dengan maksud memiliki, dengan jalan melawan hukum, oleh hukum pidana disimbolkan sebagai tindakan pencurian yang seyogyanya dihukum. Mungkin karena itulah, sehingga Barkun M. (law without sanction, 1986: 13) menuliskan bahwa hukum itu tidak lain adalah:“as that system of manipulable symbols that functions as a representations, as a model of social structure”.
Dalam kaitan dengan fungsi hukum sebagai simbol, menarik untuk mengetahui apa yang dikemukakan oleh Arnold (Curzon, 1979: 44) bahwa “…that the greatest strength of the law may be its escape from reality, that is, its abstract, symbolic nature and from. Abstract ideals … need tor their acceptance symbolic conduct by institution. The prosedures of the court (ceremonies), their dramatic presentation of symbolic inter-action within society, are examples of the ideals of the law “made concrete” in relatively simple comprehensible terms”.
Fungsi hukum sebagai “a political instrument”
Hukum dan politik memang sulit dipisahkan, khususnya hukum tertulis mempunyai kaitan langsung dengan negara. Karena itulah Curzon menyatakan bahwa: “The close connections between law dan politics, between legal principles and the institution of the law, between political ideologies and government institutions are obvius…”. Sejauhmana hukum itu dapat dijadikan sebagai alat politik? Pandangan kaum dogmatik adalah bahwa fungsi hukum sebagai alat politik tidak merupakan gejala universal, melainkan hanya ditemukan pada negara-negara tertentu dengan sistem tertentu. Mereka menganggap konsep negara hukum melarang hukum dijadikan sebagai alat politik, merupakan hal yang universal. Apalagi jika dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka peranan penguasa politik terhadap hukum adalah sangat besar.
Dalam sistem hukum kita di Indonesia, undang-undang adalah produk bersama DPR dan pemerintah. Kenyataan ini tak mungkin disangkal betapa para politisilah yang memprodukkan undang-undang (hukum tertulis).
Pandangan bahwa hukum tak mungkin dipisahkan sama sekali dari politik, bukan hanya pandangan juris yang beraliran sosiologis, tetapi bahkan pencipta ‘the pure theory of law”, Hans Kelsen, yang antara lain mengemukakan (dikutip dari Purnadi dan Soerjono, 1983: 12) bahwa: (Pemisahan poitik secara tegas sebagaimana dituntut oleh ajaran murni memang hukum, hanya berkaitan dengan ilmu hukum, dan bukan dengan obyeknya yaitu hukum. Dengan tegas dikatakan hukum tidak dapat dipisahkan dengan politik).
hukum tidak mungkin dipisahkan dengan politik. Terutama pada masyarakat yang sedang membangun, dimana pembangunan tidak lain merupakan keputusan politik, sedangkan pembangunan jelas membutuhkan legalitas dari sektor hukum.
Kaum dogmatik melihat hukum sebagai alat politik bukan hal yang bersifat universal. Mereka memberi contoh di negara-negara mana saja hukum dijadikan sebagai alat politik, yaitu di dalam sistem hukum Marxis, konsep hukum didasarkan pada asas-asas dari peran pengadilan sebagai konsolidator dan pembela tata politik. Hal itu mudah dimengerti jika kita sempat membaca definisi hukum dari Shebanov (Curzon, 1979: 44) bahwa: “In socialist countries a law is a basic legal instrument for resolving political problem and an important tool tor economic and cultural development, for insuring the internal and external security of the state, for the protection of socialist property and for the expansion and consolidation of socialist democracy”.
Pendapat Shebanov yang mengatakan bahwa di dalam negara-negara sosialis dan untuk mengekspansi serta mengkonsolidasikan demokrasi sosialis; keseluruhannya itu tidak lain adalah wujud dari totaliter yang diselubungi dengan istilah demokrasi. Bagi penulis, pernyataan Shebanov dapat dianggap sebagai pencerminan masyarakat komunis dimana hukumnya bukan dianggap sebagai pencerminan masyarakat komunis dimana hukumnya bukan sekadar alat politik, tetapi hukumnya ditindas oleh politik untuk melakukan apa yang diinginkan oleh pemerintah komunis tersebut. Dalam hal ini kita harus membedakan antara penggunaan hukum sebagai alat politik dalam arti yang wajar, dan penindasan hukum oleh politik untuk melakukan kesewenang-wenangan seperti yang dilakukan oleh pemerintah otoriter dan komunis.